Anak Syurga, Amanah Terindah dari Tuhan
Perjalanan Kami Menemukan Cahaya di Balik Tantangan
“Tuhan tidak pernah salah memilih pundak. Anak istimewa bukan ujian, melainkan amanah penuh cinta yang mengajarkan kita arti kesabaran dan ketulusan.”
Setiap orang tua tentu mendambakan buah hati yang tumbuh sehat dan ceria. Namun, tidak semua perjalanan menjadi orang tua berjalan di jalan yang mulus. Sebagian dari kita dianugerahi anak-anak istimewa — mereka yang memiliki cara berbeda dalam memandang dunia, belajar, dan mengekspresikan kasih sayang.
Saya ingin berbagi pengalaman pribadi kami sebagai bentuk refleksi dan dukungan bagi para orang tua yang mungkin tengah melewati hal serupa.
Awal yang Tak Disangka
Putra kami lahir dengan kondisi yang tampak normal. Tidak ada tanda-tanda khusus yang membuat kami curiga bahwa ia berbeda. Namun di masa awal pertumbuhannya, wilayah tempat kami tinggal dilanda kabut asap tebal akibat kebakaran hutan di berbagai daerah di Indonesia.
Sebagai seorang yang bergelut di bidang teknologi, saya sangat akrab dengan dunia gadget. Tanpa disadari, di usia dua tahun, putra kami sudah terbiasa menggunakan gadget dan menonton televisi. Ia bahkan mulai berbicara dalam bahasa Inggris — hal yang membuat kami bangga kala itu. Kami merasa ini adalah tanda kecerdasannya, tanpa tahu bahwa di balik itu ada hal yang perlu diwaspadai.
Pandemi dan Kesulitan Beradaptasi
Ketika tiba waktunya memasuki dunia sekolah (TK), pandemi Covid-19 datang melanda. Proses belajar dilakukan secara daring, dan gadget kembali menjadi sarana utama. Di masa itu, kami mulai melihat putra kami mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan sosial.
Menjelang akhir tahun pertamanya di TK, ia mulai nyaman berinteraksi. Namun, ketika sebagian besar teman-temannya naik ke SD, kami menyadari bahwa ia belum siap untuk melangkah ke jenjang yang sama. Ia harus mengulang TK untuk tahun kedua. Di sinilah gejala yang lebih jelas mulai tampak.
Ia sering tantrum, bahkan menangis hanya karena mendengar kata “sekolah”. Kepala sekolah pun menyarankan agar kami berkonsultasi dengan psikolog anak. Dari sanalah kami mengetahui bahwa putra kami mengalami hiperaktif dan keterlambatan bicara (speech delay).
Campur aduk rasanya — sedih, bingung, kecewa, dan takut. Namun kami mencoba tegar, berpegang pada keyakinan bahwa setiap anak adalah istimewa dengan jalannya masing-masing. Kami pun mulai menempuh terapi rutin dengan penuh harapan.
Menemukan Sekolah yang Ramah dan Penuh Cinta
Tantangan berikutnya datang ketika usianya sudah masuk kategori sekolah dasar. Dengan kondisinya, kami tahu ia belum siap masuk sekolah umum. Kami sempat berpikir untuk mengikuti program homeschooling dari tempat terapi, namun ternyata program tersebut sudah tidak tersedia.
Kegelisahan kami sedikit terobati ketika salah satu orang tua di tempat terapi menyarankan kami untuk mencari sekolah alam. Kami pun mengikuti saran tersebut dan mulai mencari informasi. Setelah menempuh perjalanan dan sempat tersesat, kami akhirnya tiba di sekolah yang dimaksud.
Pemandangan pertama begitu menenangkan — sekolah itu terasa seperti taman yang hidup. Tidak ada tekanan, tidak ada suasana kaku seperti sekolah konvensional. Putra kami langsung tampak nyaman. Untuk pertama kalinya, kata “sekolah” tidak lagi memicunya tantrum.
Kami kemudian bertemu dengan Ustadz Jasriyanto dan Ustadzah Aliyah, dua sosok pendidik yang luar biasa. Mereka tidak hanya memberi arahan, tetapi juga mendampingi kami dengan empati dan solusi nyata. Pihak sekolah bahkan membantu mencarikan shadow teacher sebagai pendamping khusus bagi anak kami. Sejak saat itu, kami melihat perubahan besar. Ia kembali bersemangat belajar, bahkan tidak pernah absen — sekalipun hujan deras turun.
Pertemuan yang Mengubah Cara Pandang
Ketika naik ke kelas dua, pihak sekolah mengajak kami berdiskusi terkait tumbuh kembang anak kami dan menyarankan untuk berkonsultasi ke dokter. Saat membaca nama dokter tersebut, dr. Fahwan, Sp.KJ, kami sempat terkejut. Sebagai orang awam, kami mengira dokter spesialis kejiwaan hanya menangani pasien dengan gangguan mental berat. Namun, setelah pertemuan pertama, pandangan kami berubah total.
dr. Fahwan menjelaskan dengan lembut dan ilmiah bahwa banyak anak dengan gangguan perkembangan memerlukan stimulasi medis ringan untuk membantu fungsi otak dan emosinya. Beliau juga meresepkan obat penunjang yang berfungsi membantu pertumbuhan hormon di otak anak yang selama ini terhambat.
Awalnya kami khawatir akan efek ketergantungan. Namun, dokter meyakinkan kami bahwa dosisnya akan menurun seiring perkembangan anak hingga bisa dihentikan sepenuhnya. Dan benar saja, sejak menjalani pengobatan dan terapi secara paralel, perkembangan putra kami meningkat pesat — baik dari segi komunikasi, fokus, maupun pengendalian emosi.
Langkah Mandiri dan Harapan Baru
Kini, putra kami telah duduk di kelas empat. Di kelas tiga, sekolah sempat menyarankan agar ia belajar tanpa pendamping (shadow teacher), namun kami masih ragu. Kami tahu emosinya masih fluktuatif, terutama setelah libur panjang. Namun, saat naik ke kelas empat, baik sekolah maupun pendamping meyakinkan bahwa ia sudah siap untuk mandiri.
Dengan bismillah, kami mencoba melepas pendampingnya. Hasilnya sungguh membahagiakan — ia mulai percaya diri, mampu beraktivitas tanpa bantuan, dan semakin lancar berkomunikasi. Kami tahu perjalanan ini belum usai, namun setiap langkah kecil yang ia capai adalah kemenangan besar bagi kami.
Refleksi untuk Para Orang Tua
Perjalanan kami mengajarkan satu hal penting: setiap anak memiliki waktu dan cara berkembang yang berbeda. Tidak ada istilah terlambat, yang ada hanyalah proses. Kita, para orang tua, adalah jembatan yang menghubungkan mereka dengan dunia — dan tugas kita adalah menjaga agar jembatan itu tetap kokoh dengan kasih sayang, kesabaran, dan penerimaan.
Kami kini percaya bahwa putra kami bukanlah “beban” atau “ujian”. Ia adalah amanah syurga yang dititipkan Tuhan agar kami belajar menjadi manusia yang lebih baik.
“Anak-anak istimewa bukan untuk dikasihani, melainkan untuk dicintai dengan cara yang paling istimewa pula.”
Wallahu a‘lam.